[unsoed.ac.id, Sen, 21/04/25] Data dari berbagai sumber, seperti Perempuan dan Laki-laki di Indonesia 2024 (BPS, 2024), Profil Perempuan Indonesia 2023 (Kementerian PPPA RI, 2023), dan Indeks Ketimpangan Gender 2023 (BPS, 2024), menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi ketertinggalan di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, sosial, politik, kesehatan, hingga teknologi informasi. Kesenjangan gender ini menyebabkan perempuan bergantung pada laki-laki, tidak mandiri, dan tidak memiliki posisi tawar baik di dalam keluarga maupun masyarakat.
Ketidakberdayaan ini memperbesar potensi ketidakadilan gender, seperti subordinasi (perempuan dianggap lemah), marginalisasi, stereotip negatif, beban ganda, hingga kekerasan dalam berbagai bentuk — fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Berdasarkan CATAHU 2024, tercatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 9,77% dari tahun sebelumnya. Dari data mitra CATAHU, kekerasan seksual tercatat paling tinggi, disusul kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi. Data ini menunjukkan pentingnya upaya memberdayakan perempuan agar terhindar dari kekerasan.
Tingkatan Keberdayaan Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dapat ditekan jika perempuan memiliki kemandirian. Menurut The Women’s Empowerment Framework oleh Longwe (1995), pemberdayaan perempuan dimulai dari lima tingkatan: kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol.
Pertama, kesejahteraan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar perempuan, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, akses mencakup kesempatan memperoleh sumber daya, seperti air, tanah, kredit, pelatihan, hingga perlindungan hukum.
Ketiga, kesadaran kritis, di mana perempuan memahami ketidakadilan yang mereka hadapi dan mengorganisasi diri untuk melakukan perubahan. Keempat, partisipasi dalam proses perencanaan, kebijakan, dan pembangunan. Kelima, kontrol atas sumber daya, proses, dan hasil pembangunan secara setara dengan laki-laki.
Memaknai Kemandirian Perempuan
Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si dosen Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed mengataakan, kemandirian berarti kemampuan untuk menolong diri sendiri, mengakses, dan memanfaatkan sumber daya dalam menentukan keputusan terbaik bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungan.
“Kemandirian bukan berarti melepaskan diri dari norma sosial, melainkan menciptakan harmoni dan keseimbangan dalam hubungan social,” kata Dr. Tri Wuryaningsih.
Menurutnya, ada tiga bentuk kemandirian yang penting dikembangkan oleh perempuan. Pertama, kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan untuk mandiri secara finansial dan tidak bergantung penuh pada pasangan. Kedua, kemandirian intelektual, yaitu kebebasan berpikir dan beraktualisasi sehingga perempuan tetap dapat berkontribusi bagi masyarakat, meski dalam kondisi finansial bergantung pada suami. Ketiga, kemandirian sikap, yaitu kemampuan menentukan pendapat, pilihan, dan sikap hidup secara dewasa.
Dalam perspektif Islam, perempuan memiliki hak yang sama untuk mandiri dalam berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan dakwah. Sejarah mencatat banyak perempuan mandiri di masa Rasulullah, seperti Khadijah sebagai pebisnis ulung, Aisyah sebagai perawi hadist, hingga Ummu Sulaim yang aktif berdakwah.
“Perjuangan mewujudkan kemandirian perempuan tidak terlepas dari tantangan yang bersumber dari gender, ras, agama, kelas, maupun faktor lainnya. Oleh karena itu, kemandirian perempuan hanya bisa terwujud jika ada kesadaran kolektif dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menciptakan masyarakat yang adil, setara, dan bebas dari dominasi,” pungkasnya.
#unsoed1963#merdekamajumendunia