Pojok Cendikia

MBG Aman, Anak Tenang: Menata Ulang Tanpa Menghentikan Langkah

Oleh Prof. Dr. Rifda Naufalin

Guru Besar Teknologi Pangan Unsoed

Dek: Menata ulang tata kelola keamanan, bukan menghentikan program, adalah kunci agar MBG menumbuhkan kepercayaan publik sekaligus menguatkan ekosistem UMKM pangan.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah investasi besar bangsa ini: memperbaiki gizi, menambah konsentrasi belajar, sekaligus menggerakkan ekonomi lokal lewat dapur dan pemasok di ribuan titik. Sejak diluncurkan awal tahun, cakupannya telah menembus >20 juta penerima dan ditargetkan bertahap menuju puluhan juta lainnya. Angka itu menggambarkan niat baik dan skala yang jarang kita lihat dalam program sosial. Namun skala besar juga membawa risiko sistemik bila pengendalian keamanan pangan tidak dirancang rapih dari hulu ke hilir.

Dalam beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan kabar keracunan massal di sejumlah daerah. Laporan media menyebut ribuan anak terdampak sejak program bergulir, dengan lonjakan kasus di Jawa Barat dan daerah lain. Seruan “jeda evaluasi” disampaikan sejumlah LSM dan lembaga konsumen; di sisi lain, pemerintah menutup dapur yang bermasalah dan menegaskan program tetap berjalan sembari perbaikan. Realitas di lapangan menunjukkan satu hal: MBG bukan gagal, tetapi perlu penataan ulang keselamatan agar tujuan gizi tidak bergeser menjadi kecemasan massal.

Sebagai akademisi teknologi pangan, saya mengusulkan strategi pengawalan dengan bahasa sederhana dan bisa diaudit. Kuncinya ada pada waktu–suhu–higiene, tata kelola kontrak yang memihak mutu, dan transparansi data. Bila tiga pilar ini berdiri, maka masyarakat tenang dan investasi sosial–ekonomi MBG justru tumbuh lebih sehat.

1) Menata Ulang: Safety reset di titik rawan

Yang dibutuhkan bukan penghentian total, melainkan “jeda penataan keselamatan” di titik rawan. Pemerintah telah menutup dapur terdampak; langkah ini perlu distandardisasi nasional lewat zonasi risiko (hijau–kuning–merah).

  • Dapur merah: pause sampai memenuhi syarat.
  • Dapur kuning: beroperasi dengan pendampingan sanitarian Puskesmas (in-line coaching).
  • Dapur hijau: berjalan normal dengan inspeksi berkala.

Pendekatan ini menjaga pasokan makan bergizi tetap mengalir, sambil menutup celah paling berbahaya.

Bekukan sementara menu berisiko tinggi. Untuk fase stabilisasi, hentikan dulu hidangan yang intrinsically risky (mis. bersantan/berkuah tanpa rantai dingin memadai) di dapur yang belum siap. Prioritaskan menu rendah risiko: karbohidrat kering, lauk padat, buah utuh. Prinsipnya: simplify to safety—semakin sederhana, semakin mudah dikendalikan.

Wajib log suhu di tiga titik. Pasang data logger murah pada penyangga panas/dingin di dapur, di kendaraan, dan di titik  serah di sekolah. Data harian ditandatangani penanggung jawab mutu (PJ Mutu) untuk akuntabilitas. Upaya pemerintah memperketat standar dapur dan distribusi perlu ditopang bukti digital sederhana seperti ini.

SOP transport dan label batch. Kotak harus berinsulasi, ada timestamp (jam selesai masak, kemas, berangkat), segel kebersihan, serta hot/cold holding yang terukur. Saat terjadi insiden, prosedur recall bisa menarget batch spesifik dengan cepat, bukan panik meluas.

2) Masyarakat Senang: Bangun Kepercayaan dengan Data dan Empati

Kepercayaan publik adalah oksigen MBG. Transparansi bukan memamerkan masalah, melainkan menunjukkan masalah ditangani. Karena itu, saya mendorong dasbor publik mingguan: jumlah dapur hijau, kuning, merah per kabupaten, hasil audit singkat, dan kepatuhan log suhu. Saat ada KLB pangan, umumkan menu, batch, dapur, dan rentang waktu konsumsi dalam 24 jam dan menjelaskan juga langkah koreksi dan recall. Pola komunikasi yang cepat dan seragam akan menenangkan orang tua dan guru.

Selain itu, jaminan biaya pengobatan harus tegas dan dipahami masyarakat. Pernyataan resmi Badan Gizi Nasional untuk menanggung seluruh biaya korban perlu disosialisasikan sampai level sekolah dan puskesmas agar keluarga tidak merasa sendirian menghadapi risiko. Empati kebijakan seperti ini membalik narasi takut menjadi rasa aman terukur.

Sertifikasi kompetensi mini bagi kepala dapur, juru masak, dan driver, minimal 16 JP (CPPOB/HACCP dasar), dapat digelar cepat dengan jejaring kampus dan puskesmas. Di sinilah sinergi kampus–pemerintah–UMKM sangat konkret: pelatihan kilat, coaching in-line, dan food safety cadet (mahasiswa) mendampingi dapur “kuning” selama masa penataan.

3) Investasi Berkembang: Dari “Bayar per Porsi” ke “Bayar per Mutu”

Program sebesar MBG tidak boleh hanya diukur dari berapa banyak porsi. Ia harus mengincentif seberapa aman dan konsisten. Karena itu, kontrak pengadaan perlu mengadopsi Key Food Safety Indicators (KFSI) sebagai dasar pembayaran:

  • Kepatuhan log suhu harian ≥ 95% hari operasi,
  • Hasil swab alat & tangan < ambang,
  • Defect rate menu < 1/10.000 boks,
  • Audit CPPOB lulus tanpa temuan mayor.

Penyedia yang konsisten memenuhi KFSI mendapat insentif (prioritas kontrak multi-tahun); yang gagal berulang diberi sanksi bertahap hingga pemutusan. Dengan begitu, UMKM penyedia terdorong berinvestasi pada peralatan holding, kontainer berinsulasi, dan budaya mutu, karena ada payoff yang jelas.

Sejumlah parlemen dan otoritas pengawas juga menyoroti rendahnya kepemilikan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dan menyerukan penghentian sementara penambahan dapur baru sampai standar dipenuhi. Ini selaras dengan gagasan phased scaling: perluas cakupan setelah kapasitas dan kepatuhan terbukti, bukan sebaliknya.

4) Mengapa  Semua Ini Penting?

Data resmi dan laporan media menunjukkan insiden keracunan adalah fraksi kecil dari total porsi yang telah disajikan. Namun di ranah kesehatan anak, satu klaster gagal sudah terlalu banyak. Skala MBG sendiri akan terus tumbuh, targetnya menyentuh puluhan juta penerima hingga 83 juta orang pada akhirnya, maka ketahanan sistem justru menjadi syarat mutlak keberlanjutan dan penguatan manfaat ekonomi lokal. Dengan penataan ulang yang tegas, MBG bukan hanya aman, tetapi juga memicu ekosistem bisnis pangan yang profesional di daerah.

Menata Ulang agar Tetap Melaju

MBG: Menata Ulang, Masyarakat Senang, Investasi Berkembang bukan sekadar slogan. Ini peta jalan singkat: jeda penataan keselamatan (zonasi risiko, menu rendah risiko, aturan 2+2+2, log suhu), komunikasi dan jaminan yang jelas untuk publik, serta kontrak berbasis mutu agar UMKM penyedia berinvestasi pada keamanan. Dengan tiga pilar itu, kita tidak perlu memilih antara “makan bergizi” atau “rasa aman”. Keduanya bisa dan harus hadir bersamaan.

Program ini sudah membawa manfaat luas dan menciptakan efek berganda bagi ekonomi lokal. Mari menata ulang dengan disiplin ilmiah, agar MBG melaju lebih kuat: anak-anak kenyang dan sehat, orang tua tenang, UMKM naik kelas, dan investasi sosial kita berbuah panjang