Kerja sama antara Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menghadirkan dampak kampus bagi upaya pemberdayaan ekonomi perempuan di perdesaan. Program ini menyasar 200 pelaku usaha ultra mikro (UMi) perempuan di Desa Langgongsari dan Pageraji, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.
Sejak Agustus 2024, para peserta terlibat dalam pelatihan intensif budidaya lebah klanceng jenis Tetragonula biroi. Tidak hanya dilatih soal teknik beternak, mereka juga diperkenalkan dengan proses pengemasan dan strategi pemasaran hasil panen madu yang kemudian diberi nama Madu Saji – Stingless Bee Honey.
Salah satu peserta, Siti Yulianti dari Desa Langgongsari, mengaku merasakan langsung manfaat dari pelatihan ini dalam kehidupan sehari-harinya. Saat dihubungi via telepon pada Minggu (25/05), Ia menuturkan bahwa panen madu secara rutin membantunya memenuhi kebutuhan rumah tangga, terutama saat kondisi darurat.
“Dampak besarnya, alhamdulillah, setiap bulan aku bisa panen. Misalnya kalau ada kebutuhan mendadak, aku bisa memenuhi kebutuhannya. Terus yang terakhir aku panen dapat banyak banget, Mbak. Dari koloni ini, aku dapat 17 botol,” ujarnya dengan antusias.
Tak hanya memberikan materi, program ini juga mendapat apresiasi berkat pendampingan berkelanjutan dari para dosen Unsoed. Siti merasa bahwa dirinya dan kelompok lain tak pernah dibiarkan berjalan sendiri dalam menjalankan usaha ini.
“Aku seneng dengan program ini karena bukan program yang kalau udah dikasih lalu ditinggalkan. Kalau Prof Imam ini, kita dikasih, terus dibimbing, dan akhirnya semua anggotannya itu suka. Kita diajarin gimana cara memproduksi madu, memilih bunga dan lainnya,” tambahnya.
Dalam hal pemasaran, produk Madu Saji dijual dalam kemasan 100 ml dengan harga Rp50.000 per botol. Harga tersebut dinilai cukup terjangkau oleh konsumen, dan ukuran ini pun menjadi favorit mereka.
“Satu botol itu 100 ml, 50 ribu. Rata-rata kan konsumen mintanya yang 100 ml, ya,” jelasnya. Ia juga menyebut bahwa panen dilakukan rutin setiap bulan. “Satu bulan. Normalnya satu bulan,” imbuhnya.
Program ini telah berlangsung selama dua hingga tiga tahun, bergantung pada kelompoknya. Di lingkungannya sendiri, Siti menyebut bahwa sebagian besar warga sudah terlibat aktif dalam budidaya madu ini.
“Program ini mudah diterima masyarakat. Gampang banget, sih. Paling sedikit yang agak males, tapi lebih banyak yang mau, Mbak. Sekitar rumahku hampir semua ikut,” tuturnya.
Madu klanceng juga dinilai memiliki khasiat kesehatan yang tinggi. Selain aman dikonsumsi oleh anak-anak dan orang dewasa, madu ini juga dipercaya memiliki berbagai manfaat.
“Bayi cuma bisa konsumsi beberapa tetes, orang dewasa cukup satu sendok sekali minum. Kalau lebih, tubuhnya bisa panas, itu salah aturan,” katanya, sembari menjelaskan pentingnya takaran konsumsi.
Bagi masyarakat, produk ini menjadi favorit karena dianggap mampu membantu pemulihan kesehatan dan mengatasi kelelahan.
“Madu klanceng paling banyak diminati dan katanya banyak kegunaannya. Bisa buat obat, ngilangin capek juga,” tambahnya.
Melalui pendekatan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat dan dibarengi pendampingan jangka panjang, program kolaboratif PIP dan Unsoed ini membuktikan bahwa pemberdayaan perempuan oleh kampus tidak sebatas retorika, tetapi menjadi praktik nyata yang membawa dampak bagi kehidupan banyak orang di akar rumput.